Sabtu, 06 Juni 2015

cerpen tentang kehidupan



Takdir Kehidupan
Wajah tampan itu seperti tak asing lagi bagiku. Perawakan yang tinggi, kulit putih, hidung mancung, dan senyum itu mengingatkanku kepada seseorang, tapi siapa? Fikirku. Ternyata diapun sama, memandangiku seperti mengingat-ingat seseorang.
 Irwan khan? Begitu sapanya. Saya hanya mengangguk sambil bertanya dalam hati siapakah laki-laki ini.
‘’ kita adalah teman seperguruan waktu kecil. Di surau tuo milik pak haji Romli.’’ Katanya memperkenalkan diri. Aku berfikir itu sudah lama sekali. Mungkin saat itu aku masih berusia 5 tahun. “ tiga puluh tahun yang lalu kita pernah belajar mengaji bersama dan menangkap ikan di danau maninjau,” katanya menjelaskan. “ tapi mengapa setelah aku sekolah, aku tak pernah melihat kamu?” aku bertanya sambil mengingat-ingat masa 30 tahun yang lalu.”kerasnya hidup membuat keluargaku harus  berpindah-pindah. Tapi aku pernah bersekolah di kampung. Aku juga tau bahwa kamu adalah murid terpintar di sekolah itu” lanjutnya. Belum sempat aku berfikir, ”bagaimana keadaan bapak udin yang mengambil hak pemilikan tanah almarhum ayahmu dulu? Dulu kita masih anak-anak, sekarang kita sudah dewasa. Tidak seharusnya tanah milik keluargamu di rampas oleh orang lain. Kelak adik-adik perempuanmu akan membutuhkannya juga.” Jelasnya panjang lebar. Dulu kita pernah nyolong jagung pak giri ya? Tanyaku. Dia mengangguk.
Warman, kakak kelas yang berhati hangat. Dengan segala kesulitan ekonomi keluarganya, dia mampu berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya. Dialah sosok yang menjadi inspirasiku dulu. Walaupun saya tidak pernah melihat dia selama lebih dari 20 tahun, namun dia selalu menjadi buah bibir di kampug kami .”dulu waktu saya masih SMA, saya pernah mengusulkan kepada pak giri bagaimana kalau tanah itu dibaagi dua saja.Namun beliau menolak dan memaki saya di depan umum. Semenjak kejadian itu saya tidak pernah lagi mengusik keberadaan tanah itu” jawabku. “kapan kamu pulang kampung?” tanyanya lagi. Aku tertegun. Aku sudah lupa kapan aku terakhir kali pulang kampung. “bukankah kamu masih punya adik perempuan yang tinggal di kampung?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk. Pikiranku menerawang. Langit sore kota Milan menenggelamkan kami dalam bayang-bayang masa lalu.
Tak terasa dua bulan sudah berlalu, tapi saya masih teringat kata-kata Marwan tentang tepian danau maninjau. Airnya yang jernih dan alamnya yang indah seakan menarik saya untuk segera meninggalkan kota Milan. Libur musim panas ini akan saya jadikan momen untuk berkunjung ke tanah air, batinku.
***
Bahagia, senang, sedih, haru bercampur dalam perasaanku tatkala menginjakkan kaki di tanah kelahiran tercinta. Semua berubah begitu cepat. Surau yang biasanya ramai dan terawat itu sekarang sudah  kumuh dan lapuk. Air danau yang dulunya putih bersih itu sekarang sudah coklat dan berbau. Danau meninjau tidak ubahnya seperti lautan kerambah dan dipenuhi oleh bangkai bangkai ikan. Semangat gotong royong yang dulu dibanggakan masyarakat, sekarang sudah hilang dimakan zaman. Kampung yang dulunya tenang dan damai itu sekarang tak ubahnya seperti sebuah kota yang berisik dan dipenuhi gedung gedung bertingkat.” Dimakah tanah kelahiranku yang damai dan tenang dulu?” Batinku.
Satu persatu saksi kegembiraan masa kecilku hilang. Hanya tersisa sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Disinilah saya dan Ridwan menggoreskan mimpi-mipi dan harapan yang menjadi pengobat setelah seharian bergelut dengan matahari. Goresan mungil itu kini hanya tinggal serpihan serpihan kata yang sudah buram. Ingin rasanya aku menjemput Ridwan dan menggapai mimpi itu bersama-sama.namun  Mimpi itu kini telah menghilang seiring dengan tenggelamnya matahari. Ridwan sahabat kecilku, pergi ke Jakarta  untuk mengubah nasib. Melalui pelabuhan merak, ia mempunyai cita-cita yang besar untuk mencium hajar aswad. Di kota lautan mimpi itulah ia mulai mengayuh sepeda harapan melempar Koran di subuh buta, sampai bergelimang dengan bau busuk sampah. Baginya sampah bukanlah benda yang menjijikan, melaikan bongkahan emas yang dapat mendatangkan kehidupan. Dan ruangan dua kali tiga meter itu menjadi istana tempat melepas penat setelah seharian bekerja. Terkadang dunia memang kejam. Belum sempat ia menggapai impiannya, takdir berkata lain. Mungkin karena lelah ataupun kehidupan yang kurang baik, Ridwan tidak dapat melawan penyakit kangker yang dideritanya selama 2 tahun. Teman teman seprofesinya mendapati Ridwan tak bernyawa diantara tumpukan sampah. Ia di panggil tuhanYME ketika berumur 25 tahun. Tragis memang, namun itulah kehidupan.
Jauh di penghujung jalan, tampak sebuah makam yang tidak terawat. “UDIN BIN ABDULLAH” hanya itu yang tertulis pada batu nisannya. Semak-semak belukar menjadi hiasan bagi tempat tinggal terakhirnya. Udin dulunya seorang pejabat negeri ini.. Kehidupannya bagaikan sapi di padang rumput, tak pernah kekurangan materi. 1994, tahun  yang menjadi saksi bisu kejayaanya pada masa dahulu. Bagaikan seorang raja, dia dipuja-puja dan diagungkan banyak orang. Entah kenapa banyak pejabat negeri ini yang baralih profesi menjadi maling berdasi. Tahun 2000 menjadi tahun yang kelam bagi udin. Dinginnya tembok penjara harus ia jalani selama 5 tahun. Semua harta dan aset berharga miliknya lenyap hanya dengan kedipan mata termasuk tanah peninggalan almarhum bapakku yang diambil Udin. Di tengah sulitnya hidup di balik penjara, ia harus menelan kenyataan pahit bahwa istrinya tercinta di jemput sang khalik karena stress dan akhirnya bunuh diri. Masa tua yang ia jalani memang berat, gubuk tua berlantaikan tanah dan beratapkan terami itulah yang menjadi teman setianya. Tak ada yang menyangka di masa senjanya, ia harus berkelana seorang diri. Ia sudah tak merasakan panasnya matahari dan dinginya hujan demi sesuap nasi. Nmun perjuangan harus berhenti di usia 79 tahun. Entah karena sakit jantung atau asma, ia tergeletak di atas sebuah tikar pandan didalam gubung tuanya.
Tragis, di usia senjanya, ia harus berjuang melawan kehidupan yang keras tanpa keluarga. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana akhir dari kehidupan kita. Pikiranku menerawang jauh keatas langit danau maninjau. Ditemani matahari senja yang hangat , tanpa sadar aku menitikkan air mata.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar