Takdir
Kehidupan
Wajah tampan itu seperti tak asing lagi bagiku.
Perawakan yang tinggi, kulit putih, hidung mancung, dan senyum itu
mengingatkanku kepada seseorang, tapi siapa? Fikirku. Ternyata diapun sama,
memandangiku seperti mengingat-ingat seseorang.
Irwan khan?
Begitu sapanya. Saya hanya mengangguk sambil bertanya dalam hati siapakah
laki-laki ini.
‘’ kita adalah teman seperguruan waktu kecil. Di
surau tuo milik pak haji Romli.’’ Katanya memperkenalkan diri. Aku berfikir itu
sudah lama sekali. Mungkin saat itu aku masih berusia 5 tahun. “ tiga puluh
tahun yang lalu kita pernah belajar mengaji bersama dan menangkap ikan di danau
maninjau,” katanya menjelaskan. “ tapi mengapa setelah aku sekolah, aku tak
pernah melihat kamu?” aku bertanya sambil mengingat-ingat masa 30 tahun yang
lalu.”kerasnya hidup membuat keluargaku harus
berpindah-pindah. Tapi aku pernah bersekolah di kampung. Aku juga tau
bahwa kamu adalah murid terpintar di sekolah itu” lanjutnya. Belum sempat aku
berfikir, ”bagaimana keadaan bapak udin yang mengambil hak pemilikan tanah
almarhum ayahmu dulu? Dulu kita masih anak-anak, sekarang kita sudah dewasa.
Tidak seharusnya tanah milik keluargamu di rampas oleh orang lain. Kelak
adik-adik perempuanmu akan membutuhkannya juga.” Jelasnya panjang lebar. Dulu
kita pernah nyolong jagung pak giri ya? Tanyaku. Dia mengangguk.
Warman, kakak kelas yang berhati hangat. Dengan
segala kesulitan ekonomi keluarganya, dia mampu berjuang untuk menyelesaikan
pendidikannya. Dialah sosok yang menjadi inspirasiku dulu. Walaupun saya tidak
pernah melihat dia selama lebih dari 20 tahun, namun dia selalu menjadi buah
bibir di kampug kami .”dulu waktu saya masih SMA, saya pernah mengusulkan
kepada pak giri bagaimana kalau tanah itu dibaagi dua saja.Namun beliau menolak
dan memaki saya di depan umum. Semenjak kejadian itu saya tidak pernah lagi
mengusik keberadaan tanah itu” jawabku. “kapan kamu pulang kampung?” tanyanya
lagi. Aku tertegun. Aku sudah lupa kapan aku terakhir kali pulang kampung.
“bukankah kamu masih punya adik perempuan yang tinggal di kampung?” Tanyanya
lagi. Aku mengangguk. Pikiranku menerawang. Langit sore kota Milan
menenggelamkan kami dalam bayang-bayang masa lalu.
Tak terasa dua bulan sudah berlalu, tapi saya masih
teringat kata-kata Marwan tentang tepian danau maninjau. Airnya yang jernih dan
alamnya yang indah seakan menarik saya untuk segera meninggalkan kota Milan. Libur
musim panas ini akan saya jadikan momen untuk berkunjung ke tanah air, batinku.
***
Bahagia, senang, sedih, haru bercampur dalam
perasaanku tatkala menginjakkan kaki di tanah kelahiran tercinta. Semua berubah
begitu cepat. Surau yang biasanya ramai dan terawat itu sekarang sudah kumuh dan lapuk. Air danau yang dulunya putih
bersih itu sekarang sudah coklat dan berbau. Danau meninjau tidak ubahnya
seperti lautan kerambah dan dipenuhi oleh bangkai bangkai ikan. Semangat gotong
royong yang dulu dibanggakan masyarakat, sekarang sudah hilang dimakan zaman.
Kampung yang dulunya tenang dan damai itu sekarang tak ubahnya seperti sebuah
kota yang berisik dan dipenuhi gedung gedung bertingkat.” Dimakah tanah
kelahiranku yang damai dan tenang dulu?” Batinku.
Satu persatu saksi kegembiraan masa kecilku hilang.
Hanya tersisa sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Disinilah saya dan Ridwan
menggoreskan mimpi-mipi dan harapan yang menjadi pengobat setelah seharian
bergelut dengan matahari. Goresan mungil itu kini hanya tinggal serpihan
serpihan kata yang sudah buram. Ingin rasanya aku menjemput Ridwan dan
menggapai mimpi itu bersama-sama.namun Mimpi itu kini telah menghilang seiring dengan
tenggelamnya matahari. Ridwan sahabat kecilku, pergi ke Jakarta untuk mengubah nasib. Melalui pelabuhan
merak, ia mempunyai cita-cita yang besar untuk mencium hajar aswad. Di kota
lautan mimpi itulah ia mulai mengayuh sepeda harapan melempar Koran di subuh
buta, sampai bergelimang dengan bau busuk sampah. Baginya sampah bukanlah benda
yang menjijikan, melaikan bongkahan emas yang dapat mendatangkan kehidupan. Dan
ruangan dua kali tiga meter itu menjadi istana tempat melepas penat setelah
seharian bekerja. Terkadang dunia memang kejam. Belum sempat ia menggapai
impiannya, takdir berkata lain. Mungkin karena lelah ataupun kehidupan yang
kurang baik, Ridwan tidak dapat melawan penyakit kangker yang dideritanya
selama 2 tahun. Teman teman seprofesinya mendapati Ridwan tak bernyawa diantara
tumpukan sampah. Ia di panggil tuhanYME ketika berumur 25 tahun. Tragis memang,
namun itulah kehidupan.
Jauh di penghujung jalan, tampak sebuah makam yang
tidak terawat. “UDIN BIN ABDULLAH” hanya itu yang tertulis pada batu nisannya. Semak-semak
belukar menjadi hiasan bagi tempat tinggal terakhirnya. Udin dulunya seorang pejabat
negeri ini.. Kehidupannya bagaikan sapi di padang rumput, tak pernah kekurangan
materi. 1994, tahun yang menjadi saksi
bisu kejayaanya pada masa dahulu. Bagaikan seorang raja, dia dipuja-puja dan
diagungkan banyak orang. Entah kenapa banyak pejabat negeri ini yang baralih
profesi menjadi maling berdasi. Tahun 2000 menjadi tahun yang kelam bagi udin.
Dinginnya tembok penjara harus ia jalani selama 5 tahun. Semua harta dan aset
berharga miliknya lenyap hanya dengan kedipan mata termasuk tanah peninggalan
almarhum bapakku yang diambil Udin. Di tengah sulitnya hidup di balik penjara,
ia harus menelan kenyataan pahit bahwa istrinya tercinta di jemput sang khalik
karena stress dan akhirnya bunuh diri. Masa tua yang ia jalani memang berat, gubuk
tua berlantaikan tanah dan beratapkan terami itulah yang menjadi teman
setianya. Tak ada yang menyangka di masa senjanya, ia harus berkelana seorang
diri. Ia sudah tak merasakan panasnya matahari dan dinginya hujan demi sesuap
nasi. Nmun perjuangan harus berhenti di usia 79 tahun. Entah karena sakit
jantung atau asma, ia tergeletak di atas sebuah tikar pandan didalam gubung
tuanya.
Tragis, di usia senjanya, ia harus berjuang melawan
kehidupan yang keras tanpa keluarga. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana
akhir dari kehidupan kita. Pikiranku menerawang jauh keatas langit danau
maninjau. Ditemani matahari senja yang hangat , tanpa sadar aku menitikkan air
mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar